Ini merupakan hasil revisian makalah yang saya kumpulkan untuk tugas akhir semester gasal tahun pelajaran 2015/2016.
Semoga bermanfaat.
PENDEKATAN
HERMENEUTIK DALAM STUDI AL-QUR’AN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas akhir
semester gasal
Mata kuliah: Studi
al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Dr.
Imam Muhsin, M.Ag.
Disusun Oleh :
Nama : Suryanto
NIM : 1520011047
KONSENTRASI ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC
STUDIES (IIS)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagai kalamullah diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai mukjizat yang paling agung. Al-Qur’an dijadikan
pedoman hidup manusia, khususnya bagi umat Islam. Untuk menemukan
pedoman-pedoman yang terkandung di dalamnya, maka al-Qur’an tidak hanya
dijadikan sebagai kitab suci yang dibaca tetapi juga sebagai kitab suci yang
dipahami kandungan maknanya.
Pemahaman
isi kandungan al-Qur’an telah dilakukan oleh beberapa ulama besar. Pemahaman
ini dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain pendekatan tekstual dan
kontekstual, pendekatan semantik dan sastra, dan pendekatan hermeneutik.
Hermeneutika adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan
pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut
sejumlah kaidah dan aturan standar yang harus diikuti oleh penafsir untuk dapat
memahami teks keagamaan.[1]
Penafsiran teks Al-Qur’an dengan pemikiran kontemporer menunjukkan adanya
signifikasi keragaman penafsiran teks penafsiran terhadap posisi penafsir
ditengah realitas kontemporernya dengan klaim obyektivitas dan subyektivitas.[2]
Kehadirannya Hermeneutika mengundang kecurigaan dan
tanda tanya di kalangan para pemikir muslim terutama golongan konserfatif.
Tidak jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan sentiment
yang berlebihan terhadap Barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya.
Karena hermeneutika lahir dan tumbuh di Barat.[3]
Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep
hermeneutika dan beberapa pemikiran para
tokoh muslim yang mengandung unsur-unsur hermeneutika.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana pendekatan
hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an ?
[1] Nashr Hamid Abu
Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan,
(Bandung: RQiS, 2003), hlm., 33.
[2] Ibid., hlm., 82.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hermeneutika
Hermeneutika
adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menafsirkan. Kata hermeneutik berasal
dari bahasa Yunani ”hermeneuein” yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi
Yunani, sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang
bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan
ini berarti juga mengalihbahasakan ucapan dewa ke dalam bahasa yang dimengerti
manusia. Pengalihbahasaan tersebut sebenarnya identik dengan penafsiran. Dari
situ, pengertian kata hermeneutik memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau
interpretasi.[1]
Kata
“hermeneutic” dalam pendapat yang lain diambil dari kata Hermes. Hermes sendiri
adalah utusan dewa-dewa dalam mitologi Yunani. Akan tetapi, dia juga adalah
Tuhan yang berubah dari Tuhan orang-orang Mesir kuno Theht. Dengan itu hermeneutic
membangun sebuah teori penafsiran tentang alam dan wujud, awal mulanya dan
kembalinya.[2]
Hermeneutika
adalah alat-alat yang digunakan terhadap teks dalam menganalisis dan memahami
maksudnya serta menampakkan nilai yang dikandungnya. Secara singkatnya adalah
cara kerja yang harus ditempuh oleh siapapun yang hendak memahami suatu teks
baik yang terlihat nyata dari teksnya maupun kabur bahkan tersembunyi akibat
perjalanan sejarah atau pengaruh ideologi dan kepercayaan.[3]
Jika
hal ini dirujuk dalam Al-Qur’an, maka Nabi SAW juga bisa disebut sebagai seorang
hermeneut (baca penafsir atau penjelas Al-Qur’an), sebagaimana dalam firman
Allah SWT dalam Q.S al-Nahl [16]: 44 yang artinya[4]:
... dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [yakni:
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al-Qur’an] dan supaya mereka memikirkan.
B. Sejarah
Hermeneutik al-Qur’an
Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia barat. Ia meluas dan
menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara
penafsiran tersendiri, yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika.
Beberapa pakar muslim modern melihat signifikasi hermeneutika, khususnya untuk
memahami al-Qur’ᾱn. Signifikasi
hermeneutika dilihat setelah menyadari fakta tragis yang terjadi di dalam
keilmuan tafsir konvensional.[5]
Setiap umat Islam meyakini kebenaran akan al-Qur’ᾱn . Keyakinan ini
berlaku mutlak karena keterjagaannya dalam penyelewengan. Berbeda dengan kitab
suci lain yang telah lebih dahulu diturunkan oleh Allah yang mana telah
diindikasikan akan adanya perubahan oleh ulah tangan manusia, Allah secara
tegas telah menyampaikan dalam al-Qur’ᾱn penjagaanNya terhadap keabsahan
al-Qur’ᾱn ini.
Kajian hermeneutika sejak abad 19 (atau akhir abad 18) telah menemukan
bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya. Secara periodik
hermeneutik dapat dibedakan dalam tiga fase:[6]
1. Hermeneutika klasik,
Hermeneutika klasik yaitu lebih bercorak pada bentuk interpretasi teks
dan ‘art of interpretation.[7]
Dan istilah ini muncul pertama kali pada abad ke XVII. Tetapi hermeneutika dalam
arti sebagai aktivitas penafsiran telah lahir jauh sebelumnya, usianya setua
dengan eksegesis teks.
Hermeneutika dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang
ditulis oleh Aristatoles dalam Peri Hermeneias Atau De Interpretation. Yaitu:
bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita,
dan kata-kata yang kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan
itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang
lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang
lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang
lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsung itu adalah sama untuk semua orang. Sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.
Pembakuan hermeneutika sebagai sebuah perangkat pemahaman tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan pemikiran tentang bahasa dalam tradisi Yunani.
Bahasa dan hermeneutika adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa
penting bagi hermeneutika karena lahan dari hermeneutika adalah bahasa.
Demikian juga, hermeneutika penting bagi bahasa karena hermeneutika menjadi
metode untuk memahami bahasa. Keterkaitan ini menjadikan hermeneutika sebagai
metode untuk mengeluarkan makna kebahasaan sebuah teks. Metode pemahaman teks
inilah yang mula-mula menjadi tugas hermeneutika.[8]
2. Hermeneutika Romansis
Hermneutika ini bermula dari Faderic Schaleirmacher (1768-1834) yang
menekankan dan meletakkan metode guna menghindari kesalahpahaman. Tokoh ini
berpengaruh sangat besar terhadap pemikir-pemikir hermeneutika sesudahnya, baik
yang setuju maupun yang tidak setuju dengan alirannya. Dia juga dinilai telah
mengalihkan hermeneutika dari penafsiran teks keagamaan secara khusus ke aneka
teks yang lainnya.[9]
Hermeneutika pertengahan ini dimulai pada, dianggap berasal dari
penafsiran terhadap bible yang menggunakan empat level pemaknaan baik secara
literal, allegoris, tropological (moral), and eskatologis. Tetapi pada masa
protestan, empat pemaknaan itu kemudian disempitkan pada eksegegis literal atau
grammatical dan eksegegis studi tentang yahudi dan yunani.
3. Hermeneutika filososfis
Hermenneutika filososfis sendiri disini banyak mengedepankan hal-hal yang
berkaitan dengan hakikat pemahaman dan kondisi penemuannya tanpa membahas metode
tentang makna pemahaman.
C. Macam-Macam
Hermeneutika
Macam-macam
hermeneutika ada 3:[10]
1. Hermeneutika teoritis (epistimologi)
Epistimologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa
diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata, atau
teori. Epistimologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar,
dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa inggrisnya
menjadi theory of knowledge.[11]
Yakni teori hermeneutika yang bertujuan memahami teks dengan benar sesuai
maksud penggagasnya. Hermeneutika ini mencoba mencari makna atau pemahaman yang
benar. Maksudnya adalah makna yang diinginkan dari penggagas teks itu sendiri.
(makna yang obyektif atau makna yang valid menurut pengarang atau penggagas
teks tersebut). Sedangkan makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika
ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya
memahami secara objektif maksud penggagas maka hermeneutika model ini juga dianggap
sebagai hermeneutika romantic yang bertujuan untuk “ merekonstruksi makna”.[12]
2. Hermeneutika filsafat ( ontologi)
Ontology pertama kali dikenalkan oleh Christian wolf (1679-1714). Istilah
ontology sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “ yang
berada” dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian,
ontology adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.[13]
Hermeneutika filsafat ini merupakan proses pemahaman atau pra pemahaman
yaitu pertemuan antar pembaca dan teks. Hermeutika filosofis berpendapat dengan
tegas bahwa penafsir atau pembaca telah memiliki prasangka atau pra pemahaman
atas teks yang dihadapi sehingga tidak mungkin untuk menghasilkan makna yang
obyektif atau makna yang sesuai penggagas teks. Hermeneutika tidak bertujuan
untuk memperoleh makna yang obyektif sebagaimana teori hermeneutika melainkan
pada pengungkapan mengenai desain manusia dalam temporalitas dan historikalnya.
Implikasinya konsep mengenai apa yang terlibat dalam penafsiran yang pada
akhirnya bergeser dari reproduksi sebuah teks yang udah ada sebelumnya menjadi
partisipasi dalam komunikasi yang sedang berlangsung antara masa lalu dan masa
kini.
3. Hermeneutika kritis
Hermeneutika kritis merupakan interpretasi dengan pemahaman yang
ditentukan oleh kepentingan sosial (sosial interest) yang melibatkan
kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodelogis,
teori ini dibangun atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan
terdapat bias atau unsure kepentingan politik, ekonomi, sosial, seperti bisa
strata kelas, suku, dan gender dengan kata lain, metode ini mempunyai
konsekuensi curiga dan waspada ( kritis) terhadap bentuk tafsir, seperti jargon
jargon yang dipakai dalam sains dan agama. Sehingga hermeneutika ini bertujuan
untuk mengungkap kepentingan[14]
di balik teks.
D. Perdebatan
Hermeneutika
Perdebatan
hermeneutika sebagai metodologi di Barat terfokus pada kelompok tujuan, yaitu
rekonstruksi dan produk. Hermeneutika rekonstruksi adalah usaha untuk memahami
teks dengan memberi makna sesuai dengan yang dikehendaki oleh penulis atau
pengirim. [15]
Hal ini ternyata memiliki beberapa kekurangan yaitu untuk memahami pikiran atau
batin dengan cara mengetahui latar belakang sejarah, budaya, dan tujuan penulis
atau pengirim secara utuh sangatlah sulit, mungkin kita hanya bisa mengetahui
sebagian saja. Faktor lainnya adalah bisa terjadi penulis atau pengirimnya
sendiri ketika membaca karyanya sendiri mempunyai pemahaman yang berlainan
dengan idenya sendiri, artinya apa yang ingin diungkapkannya tidak sesuai
dengan ungkapannya.
Dalam konteksnya
dengan Al-Qur’an, bagaimana mungkin seorang penafsir mencapai pada makna teks
al-Qur’an secara objektif? Apakah dengan keterbatasan potensi dan berbagai
kekurangannya, manusia bisa mengetahui “maksud” Tuhan yang Maha Sempurna dan
absolut?[16]
Oleh karena itu
dikembangkan hermeneutika yang bukan bertujuan untuk merekonstruksi pikiran
kreatif penulis teks, tetapi sebaliknya mengembangkan konstruksi atau produksi
pemahaman makna dari teks sesuai dengan konteks pembacanya.[17]
Dalam tradisi
ilmu tafsir ada perdebatan dalam menafsirkan teks al-Qur’an tentang makna zahir
dan batin. Perbedaan makna zahir dan makna batin dari al-Qur’an menimbulkan
perbedaan istilah dalam penafsiran al-Qur’an. Jika interpretasi teks suci hanya
sebatas makna zahir saja, maka disebut tafsir. Tetapi jika interpretasinya
mengungkapkan yang tersembunyi di balik makna zahir, maka disebut takwil.
Sehingga penafsiran terhadap ayat-ayat yang samar (ambigu) sebagian penafsir
menyebut dengan takwil.[18]
E. Pendekatan
Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an
Dalam
perkembangannya, hermeneutika telah menjadi bagian dari kajian filsafat. Dalam
kesarjanaan muslim, aliran-aliran hermeneutik juga telah terpetakan. Dalam hal
ini Sahiron Syamsuddin[19] memetakan
aliran hermeneutika al-Quran menjadi tiga kelompok :
1.
Pandangan
quasi-obyektivis tradisional
Suatu pandangan
bahwa al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini,
sebagaimana ia juga telah dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi
dimana al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada
para sahabatnya. Seluruh yang tertera secara literal dalam al-Qur’an harus
diaplikasikan juga di masa kini dan bahkan pada masa yang akan datang.
2.
Pandangan
quasi-obyektivis modernis
Aliran ini juga
menganggap penting terhadap makna asal, namun makna asal tersebut hanya sebagai
pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an di masa kini.
3.
Pandangan
subyektivis
Aliran yang
meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir. Karena
itu, setiap generasi berhak menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh
adalah penafsiran Double Movement dari Fazlurrahman. Penafsiran Double Movement
adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan visi Qur’an yang utuh dan kemudian
menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang.[20] Gerakan
Pertama, yaitu situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari
dua langkah yaitu memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping
dalam batas-batas ajaran yangkhusus yang menerapkan respon terhadap
situasi-situasi khusus dan menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan
menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan
moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran
latar belakang sosio historis dan ratio legis yang sering dinyatakan.[21] Gerakan
kedua, merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan
khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang yakni yang umum harus
diwujudkan dalam konteks sosio historis konkret sekarang.
Secara ringkas
model penafsiran Fazlurrahman tersebut bisa digambarkan dengan tabel berikut: [22]
Fazlurrahman
sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya ini dengan menulis
sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major Themes of The Qur’an.
Contoh sederhana
dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal poligami. Dalam hal
poligami ini Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan tentang poligami yang
oleh para fuqaha dianggap sebagai asas perkawinan yang sah menurut Islam dalam
Alquran surah An-Nisa ayat 3;
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا ﴿۳﴾
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S.
An-Nisa:3)
Contoh sederhana
dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal poligami. Dalam hal
poligami ini Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan tentang poligami yang
oleh para fuqaha dianggap sebagai asas perkawinan yang sah menurut Islam dalam
Alquran surah An-Nisa ayat 3;
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا ﴿۳﴾
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa:3)
Ayat yang
berkaitan dengan poligami adalah QS. Al-Nisâ [4] : 3 dengan konteks ayat yang
berkaitan dengan permasalahan gadis-gadis yatim yang telah berusia dewasa. QS. Al-Nisâ
[4] : 2, di mana wali mereka tidak berkenan menyerahkan harta kekayaan anak yatim
yang dikuasainya. QS. Al-Nisâ [4] : 3 memang menganjurkan poligami dengan disertai
syarat bahwa para suami mampu berbuat adil, dengan diiringi penekanan
"jika engkau kuatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah hanya dengan
seorang istri".
Selanjutnya
sebagaimana pada ayat kedua, yang memerintahkan berbuat adil pada anak anak yatim.
QS. Al-Nisâ [4] : 129 juga menegaskan "Kamu sekali-kali tidak akan mampu berbuat
adil kepada isteri-isterimu walaupun sesungguhnya kamu sangat menghendaki untuk
berbuat demikian-(jika engkau tidak mampu berbuat adil sepenuhnya)–maka setidak-tidaknya
janganlah kamu cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehingga yang lain
terkatung-katung". Rahman mencoba mendekati nas ini dengan menggali nilai
yang terkandung di dalam teks formalnya bedasarkan sosio-historis dan
kulturalnya. Rahman tidak sependapat bahwa frasa "berlaku adil" dalam
ayat 3 surat Al-Nisâ hanya terbatas pada perlakuan lahiriah. Jika frase
tersebut hanya bermakna demikian, niscaya tidak mungkin ada penegasan pada
peringatan ayat 129 surat Al-Nisâ. Frase tersebut hanya tepat jika ditafsirkan
dalam aspek psikis,cinta kasih. Ia beralasan dengan ayat-ayat yang mengatur poligami
sudah menjadi semacam endemic dalam struktur sosial Arab pada masa itu, maka
Alquran secara bijaksana menerima status quo tersebut dengan disertai
langkahlangkah perbaikan melalui sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan
dengan itu Alquran juga mengemukakan rancangan moral di mana masyarakat secara
gradual dianjurkan menuju ke arah tersebut, yaitu "monogamy".
Dengan memandang
izin poligami bersifat temporer dan memandang bahwa maksud yang hendak dituju
oleh Alquran yang sebenarnya adalah menegakkan "monogami", akan menyelamatkan
ayat 3 dan ayat 129 surat Al-Nisâ dari pengertian yang kontradiktif. Masalah
poligami berkaitan erat dengan konteks keadilan sosial terhadap wanita.[23]
Namun perlu
diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak
hermeneutik, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu:[24]
1 .
Para penafsir
adalah manusia
2 .
Penafsiran itu
tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi
3 .
Tidak ada teks
yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri
[2] Fahmi Salim, Kritik
Terhadap Studi al- Qur’an Kaum Liberal,(Jakarta: Perspektif, 2010), hlm. 52
[3] M. Quraish
Shihab. Kaidah Tafsir, (Tangerang:
Lentera hati, 2012), .hlm., 401.
[4] Syafa’atun
Almirzanah, Sahiron Syamduddin. Upaya
Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku
1 Tradisi Islam. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2012),
hlm. 68
[5] Sibawaihi,
Hermeneutika al-Qur’ᾱn Fazlur Rahman. (Yogyakarta
& Bandung: Jalasutra, 2007), hlm. 11
[6] Fatmawati, Hanik
(2013) Penafsiran Amina Wadud Muhsin tentang bidadari dalam Al-Qur’ān (kajian
hermeneutika). Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo, hal. 35
[7] Yaitu bahwa
hermeneutika merupakan seni bagi mereka yang mengatakan bahwa seseorang harus
tunduk kepada sesuatu yang harus dihormati, atau seseorang yang harus
mengakuinya dengan penuh kagum karena seni ini dapat memahami dan menjelaskan
percakapan yang tersembunyi dalam suatu bahasa asing atau bahkan keyakinan yang
tak dapat diekspresikan mengenai orang lain.( Syaf’atun al-Mirzanah, Sahiron Syamsuddin,(ed.),
Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat Reader, (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 146)
[10] Fatmawati, Hanik
(2013) Penafsiran Amina Wadud Muhsin tentang bidadari dalam Al-Qur’ān (kajian
hermeneutika). Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo, hal. 45-51
[12] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qu’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologis-Hermeneutis,
(Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 25
[14] Menurut Paul Ricoeur, ada tiga
bentuk kepentingan yang di telusuri
Habermas, pertama, kepentingan teknis atau kepentingan instrumental yang
menguasai ilmu pengetahuan empiris-analitis, kedua, teknis dan praksis,
yakni ranah komunikasi interubjektif yang menjadi wilayah ilmu
pengetahuan historis-hermeneutik, ketiga, kepentingan emansipasi, yang
menjadi wilayah garapan ilmu sosial kritis, Paul Ricouer, Jalaluddin
Rakhmat, Hermeneutika Sosial, Terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta
: 2006. Hal. 108-111
[16] Nashr Hamid Abu
Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan,
(Bandung: RQiS, 2003), hlm., 36.
[19] Dalam
makalah oleh Kurdi dengan judul Hermeneutika
Al-Qur’an Abu Hamid Al-Ghazali. dalam Sahiron Syamsudin. Hermeneutika Al-Qur’an...., hlm. 5
[22] Faiz,
Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi.
(Yogyakarta: Qalam, 2002) hal. 45
[23] Nugroho, Muh
Aji. Hermeneutika
Fazlur Rahman: Double Movement Theory. Dalam http://goo.gl/TBXQf2 diakses
tanggal 21 Januari 2016
[24] Faiz,
Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi.
(Yogyakarta: Qalam, 2002) hal. 48-49
BAB III
PENUTUP
Heremeneutik merupakan cara seseorang dalam
mentafsirkan. Kajian tafsir al-Qur’an menggunakan pendekatan hermeneutika dapat
dilakukan dengan metode produksi, yaitu mentafsirkan al-Qur’an dari konteks
pembacanya. Penggunaan hermeneutika dikalangan umat islam ternyata bukanlah hal
yang baru. Para sufi ternyata telah menggunakan hermenutik dalam tafsir
al-Qur’an yang mereka lakukan.
Sebagai contoh Fazlurrahman yang menafsirkan al-Quran melalui teori
double movement. Namun perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar
dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu para penafsir adalah manusia, penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa,
sejarah dan tradisi, dan idak ada teks
yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qu’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologis-Hermeneutis,
Yogyakarta: Lkis, 2009
Fahmi Salim, Kritik
Terhadap Studi al- Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif,
2010
Faiz,
Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002
Fatmawati, Hanik (2013)
Penafsiran Amina Wadud Muhsin tentang bidadari dalam Al-Qur’ān (kajian
hermeneutika). Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo, dalam http://eprints.walisongo.ac.id/1545/ diakses tanggal 21 Januari 2016
Jalaluddin
Rakhmat. Hermeneutika Sosial. Terj. Muhammad Syukri. Kreasi Wacana,
Yogyakarta : 2006.
M. Quraish Shihab, Kidah
Tafsir, Jakarta:
Lentera Hati, Cet. 1, 2013
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera hati, 2012
Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan,
Bandung: RQiS, 2003.
Nugroho,
Muh Aji. Hermeneutika Fazlur Rahman: Double
Movement Theory. Dalam http://goo.gl/TBXQf2 diakses tanggal 21 Januari 2016
Sahiron
Syamduddin. Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku 1 Tradisi Islam.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2012
Sahiron Syamsudin. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010
Sibawaihi,
Hermeneutika al-Qur’ᾱn Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Surojiyo, Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar, Jakarta:
Bumi Aksara, 2007
Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme
Fazurrahman. Bandung: Mizan, 1990
No comments:
Post a Comment