Sedikit kata

Semua Akan Indah Pada Waktunya

--9 Agustus 2019--

25 January, 2016

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI AL-QUR’AN

Ini merupakan hasil revisian makalah yang saya kumpulkan untuk tugas akhir semester gasal tahun pelajaran 2015/2016.
Semoga bermanfaat. 


PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI AL-QUR’AN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas akhir semester gasal
Mata kuliah: Studi al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Dr. Imam Muhsin, M.Ag.










Disusun Oleh :
                                             Nama           : Suryanto
                                             NIM             : 1520011047


KONSENTRASI  ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES (IIS)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagai kalamullah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang paling agung. Al-Qur’an dijadikan pedoman hidup manusia, khususnya bagi umat Islam. Untuk menemukan pedoman-pedoman yang terkandung di dalamnya, maka al-Qur’an tidak hanya dijadikan sebagai kitab suci yang dibaca tetapi juga sebagai kitab suci yang dipahami kandungan maknanya.
Pemahaman isi kandungan al-Qur’an telah dilakukan oleh beberapa ulama besar. Pemahaman ini dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain pendekatan tekstual dan kontekstual, pendekatan semantik dan sastra, dan pendekatan hermeneutik.
Hermeneutika adalah istilah yang telah ada sejak dahulu, dan pertama kali digunakan oleh berbagai kelompok studi teologis untuk menyebut sejumlah kaidah dan aturan standar yang harus diikuti oleh penafsir untuk dapat memahami teks keagamaan.[1] Penafsiran teks Al-Qur’an dengan pemikiran kontemporer menunjukkan adanya signifikasi keragaman penafsiran teks penafsiran terhadap posisi penafsir ditengah realitas kontemporernya dengan klaim obyektivitas dan subyektivitas.[2]
Kehadirannya Hermeneutika mengundang kecurigaan dan tanda tanya di kalangan para pemikir muslim terutama golongan konserfatif. Tidak jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan sentiment yang berlebihan terhadap Barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Karena hermeneutika lahir dan tumbuh di Barat.[3]
Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep hermeneutika  dan beberapa pemikiran para tokoh muslim yang mengandung unsur-unsur hermeneutika.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana pendekatan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an ?



[1] Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan, (Bandung: RQiS, 2003), hlm., 33.
[2] Ibid., hlm., 82.
[3] Sahiron Syamsudin. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 85

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Definisi Hermeneutika
Hermeneutika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menafsirkan. Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ”hermeneuein” yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan ini berarti juga mengalihbahasakan ucapan dewa ke dalam bahasa yang dimengerti manusia. Pengalihbahasaan tersebut sebenarnya identik dengan penafsiran. Dari situ, pengertian kata hermeneutik memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.[1]
Kata “hermeneutic” dalam pendapat yang lain diambil dari kata Hermes. Hermes sendiri adalah utusan dewa-dewa dalam mitologi Yunani. Akan tetapi, dia juga adalah Tuhan yang berubah dari Tuhan orang-orang Mesir kuno Theht. Dengan itu hermeneutic membangun sebuah teori penafsiran tentang alam dan wujud, awal mulanya dan kembalinya.[2]
Hermeneutika adalah alat-alat yang digunakan terhadap teks dalam menganalisis dan memahami maksudnya serta menampakkan nilai yang dikandungnya. Secara singkatnya adalah cara kerja yang harus ditempuh oleh siapapun yang hendak memahami suatu teks baik yang terlihat nyata dari teksnya maupun kabur bahkan tersembunyi akibat perjalanan sejarah atau pengaruh ideologi dan kepercayaan.[3]
Jika hal ini dirujuk dalam Al-Qur’an, maka Nabi SAW juga bisa disebut sebagai seorang hermeneut (baca penafsir atau penjelas Al-Qur’an), sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Q.S al-Nahl [16]: 44 yang artinya[4]:
... dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al-Qur’an] dan supaya mereka memikirkan.

B.     Sejarah Hermeneutik al-Qur’an
Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia barat. Ia meluas dan menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran tersendiri, yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika. Beberapa pakar muslim modern melihat signifikasi hermeneutika, khususnya untuk memahami al-Qur’ᾱn.   Signifikasi hermeneutika dilihat setelah menyadari fakta tragis yang terjadi di dalam keilmuan tafsir konvensional.[5]
Setiap umat Islam meyakini kebenaran akan al-Qur’ᾱn . Keyakinan ini berlaku mutlak karena keterjagaannya dalam penyelewengan. Berbeda dengan kitab suci lain yang telah lebih dahulu diturunkan oleh Allah yang mana telah diindikasikan akan adanya perubahan oleh ulah tangan manusia, Allah secara tegas telah menyampaikan dalam al-Qur’ᾱn penjagaanNya terhadap keabsahan al-Qur’ᾱn ini.
Kajian hermeneutika sejak abad 19 (atau akhir abad 18) telah menemukan bentuknya yang baru dari wajah hermeneutika sebelumnya. Secara periodik hermeneutik dapat dibedakan dalam tiga fase:[6]
1.      Hermeneutika klasik,
Hermeneutika klasik yaitu lebih bercorak pada bentuk interpretasi teks dan ‘art of interpretation.[7] Dan istilah ini muncul pertama kali pada abad ke XVII. Tetapi hermeneutika dalam arti sebagai aktivitas penafsiran telah lahir jauh sebelumnya, usianya setua dengan eksegesis teks.
Hermeneutika dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristatoles dalam Peri Hermeneias Atau De Interpretation. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang. Sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.
Pembakuan hermeneutika sebagai sebuah perangkat pemahaman tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran tentang bahasa dalam tradisi Yunani. Bahasa dan hermeneutika adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa penting bagi hermeneutika karena lahan dari hermeneutika adalah bahasa. Demikian juga, hermeneutika penting bagi bahasa karena hermeneutika menjadi metode untuk memahami bahasa. Keterkaitan ini menjadikan hermeneutika sebagai metode untuk mengeluarkan makna kebahasaan sebuah teks. Metode pemahaman teks inilah yang mula-mula menjadi tugas hermeneutika.[8]
2.      Hermeneutika Romansis
Hermneutika ini bermula dari Faderic Schaleirmacher (1768-1834) yang menekankan dan meletakkan metode guna menghindari kesalahpahaman. Tokoh ini berpengaruh sangat besar terhadap pemikir-pemikir hermeneutika sesudahnya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju dengan alirannya. Dia juga dinilai telah mengalihkan hermeneutika dari penafsiran teks keagamaan secara khusus ke aneka teks yang lainnya.[9]
Hermeneutika pertengahan ini dimulai pada, dianggap berasal dari penafsiran terhadap bible yang menggunakan empat level pemaknaan baik secara literal, allegoris, tropological (moral), and eskatologis. Tetapi pada masa protestan, empat pemaknaan itu kemudian disempitkan pada eksegegis literal atau grammatical dan eksegegis studi tentang yahudi dan yunani.
3.      Hermeneutika filososfis
Hermenneutika filososfis sendiri disini banyak mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat pemahaman dan kondisi penemuannya tanpa membahas metode tentang makna pemahaman.

C.    Macam-Macam Hermeneutika
Macam-macam hermeneutika ada 3:[10]
1.      Hermeneutika teoritis (epistimologi)
Epistimologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistimologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa inggrisnya menjadi theory of knowledge.[11]
Yakni teori hermeneutika yang bertujuan memahami teks dengan benar sesuai maksud penggagasnya. Hermeneutika ini mencoba mencari makna atau pemahaman yang benar. Maksudnya adalah makna yang diinginkan dari penggagas teks itu sendiri. (makna yang obyektif atau makna yang valid menurut pengarang atau penggagas teks tersebut). Sedangkan makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara objektif maksud penggagas maka hermeneutika model ini juga dianggap sebagai hermeneutika romantic yang bertujuan untuk “ merekonstruksi makna”.[12]
2.      Hermeneutika filsafat ( ontologi)
Ontology pertama kali dikenalkan oleh Christian wolf (1679-1714). Istilah ontology sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “ yang berada” dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontology adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.[13]
Hermeneutika filsafat ini merupakan proses pemahaman atau pra pemahaman yaitu pertemuan antar pembaca dan teks. Hermeutika filosofis berpendapat dengan tegas bahwa penafsir atau pembaca telah memiliki prasangka atau pra pemahaman atas teks yang dihadapi sehingga tidak mungkin untuk menghasilkan makna yang obyektif atau makna yang sesuai penggagas teks. Hermeneutika tidak bertujuan untuk memperoleh makna yang obyektif sebagaimana teori hermeneutika melainkan pada pengungkapan mengenai desain manusia dalam temporalitas dan historikalnya. Implikasinya konsep mengenai apa yang terlibat dalam penafsiran yang pada akhirnya bergeser dari reproduksi sebuah teks yang udah ada sebelumnya menjadi partisipasi dalam komunikasi yang sedang berlangsung antara masa lalu dan masa kini.
3.      Hermeneutika kritis
Hermeneutika kritis merupakan interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan sosial (sosial interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodelogis, teori ini dibangun atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan terdapat bias atau unsure kepentingan politik, ekonomi, sosial, seperti bisa strata kelas, suku, dan gender dengan kata lain, metode ini mempunyai konsekuensi curiga dan waspada ( kritis) terhadap bentuk tafsir, seperti jargon jargon yang dipakai dalam sains dan agama. Sehingga hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan[14] di balik teks.

D.    Perdebatan Hermeneutika
Perdebatan hermeneutika sebagai metodologi di Barat terfokus pada kelompok tujuan, yaitu rekonstruksi dan produk. Hermeneutika rekonstruksi adalah usaha untuk memahami teks dengan memberi makna sesuai dengan yang dikehendaki oleh penulis atau pengirim. [15] Hal ini ternyata memiliki beberapa kekurangan yaitu untuk memahami pikiran atau batin dengan cara mengetahui latar belakang sejarah, budaya, dan tujuan penulis atau pengirim secara utuh sangatlah sulit, mungkin kita hanya bisa mengetahui sebagian saja. Faktor lainnya adalah bisa terjadi penulis atau pengirimnya sendiri ketika membaca karyanya sendiri mempunyai pemahaman yang berlainan dengan idenya sendiri, artinya apa yang ingin diungkapkannya tidak sesuai dengan ungkapannya.
Dalam konteksnya dengan Al-Qur’an, bagaimana mungkin seorang penafsir mencapai pada makna teks al-Qur’an secara objektif? Apakah dengan keterbatasan potensi dan berbagai kekurangannya, manusia bisa mengetahui “maksud” Tuhan yang Maha Sempurna dan absolut?[16]
Oleh karena itu dikembangkan hermeneutika yang bukan bertujuan untuk merekonstruksi pikiran kreatif penulis teks, tetapi sebaliknya mengembangkan konstruksi atau produksi pemahaman makna dari teks sesuai dengan konteks pembacanya.[17]
Dalam tradisi ilmu tafsir ada perdebatan dalam menafsirkan teks al-Qur’an tentang makna zahir dan batin. Perbedaan makna zahir dan makna batin dari al-Qur’an menimbulkan perbedaan istilah dalam penafsiran al-Qur’an. Jika interpretasi teks suci hanya sebatas makna zahir saja, maka disebut tafsir. Tetapi jika interpretasinya mengungkapkan yang tersembunyi di balik makna zahir, maka disebut takwil. Sehingga penafsiran terhadap ayat-ayat yang samar (ambigu) sebagian penafsir menyebut dengan takwil.[18]

E.     Pendekatan Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an
Dalam perkembangannya, hermeneutika telah menjadi bagian dari kajian filsafat. Dalam kesarjanaan muslim, aliran-aliran hermeneutik juga telah terpetakan. Dalam hal ini Sahiron Syamsuddin[19] memetakan aliran hermeneutika al-Quran menjadi tiga kelompok :
1.      Pandangan quasi-obyektivis tradisional
Suatu pandangan bahwa al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia juga telah dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi dimana al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada para sahabatnya. Seluruh yang tertera secara literal dalam al-Qur’an harus diaplikasikan juga di masa kini dan bahkan pada masa yang akan datang.
2.      Pandangan quasi-obyektivis modernis
Aliran ini juga menganggap penting terhadap makna asal, namun makna asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an di masa kini.
3.      Pandangan subyektivis
Aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir. Karena itu, setiap generasi berhak menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh adalah penafsiran Double Movement dari Fazlurrahman. Penafsiran Double Movement adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan visi Qur’an yang utuh dan kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang.[20] Gerakan Pertama, yaitu situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari dua langkah yaitu memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yangkhusus yang menerapkan respon terhadap situasi-situasi khusus dan menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio legis yang sering dinyatakan.[21] Gerakan kedua, merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang yakni yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio historis konkret sekarang.
Secara ringkas model penafsiran Fazlurrahman tersebut bisa digambarkan dengan tabel berikut: [22]
  


 Fazlurrahman sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya ini dengan menulis sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major Themes of The Qur’an.
Contoh sederhana dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal poligami. Dalam hal poligami ini Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan tentang poligami yang oleh para fuqaha dianggap sebagai asas perkawinan yang sah menurut Islam dalam Alquran surah An-Nisa ayat 3;

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا ﴿۳

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa:3)
Contoh sederhana dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal poligami. Dalam hal poligami ini Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan tentang poligami yang oleh para fuqaha dianggap sebagai asas perkawinan yang sah menurut Islam dalam Alquran surah An-Nisa ayat 3;
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا ﴿۳
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa:3)
Ayat yang berkaitan dengan poligami adalah QS. Al-Nisâ [4] : 3 dengan konteks ayat yang berkaitan dengan permasalahan gadis-gadis yatim yang telah berusia dewasa. QS. Al-Nisâ [4] : 2, di mana wali mereka tidak berkenan menyerahkan harta kekayaan anak yatim yang dikuasainya. QS. Al-Nisâ [4] : 3 memang menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu berbuat adil, dengan diiringi penekanan "jika engkau kuatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".
Selanjutnya sebagaimana pada ayat kedua, yang memerintahkan berbuat adil pada anak anak yatim. QS. Al-Nisâ [4] : 129 juga menegaskan "Kamu sekali-kali tidak akan mampu berbuat adil kepada isteri-isterimu walaupun sesungguhnya kamu sangat menghendaki untuk berbuat demikian-(jika engkau tidak mampu berbuat adil sepenuhnya)–maka setidak-tidaknya janganlah kamu cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehingga yang lain terkatung-katung". Rahman mencoba mendekati nas ini dengan menggali nilai yang terkandung di dalam teks formalnya bedasarkan sosio-historis dan kulturalnya. Rahman tidak sependapat bahwa frasa "berlaku adil" dalam ayat 3 surat Al-Nisâ hanya terbatas pada perlakuan lahiriah. Jika frase tersebut hanya bermakna demikian, niscaya tidak mungkin ada penegasan pada peringatan ayat 129 surat Al-Nisâ. Frase tersebut hanya tepat jika ditafsirkan dalam aspek psikis,cinta kasih. Ia beralasan dengan ayat-ayat yang mengatur poligami sudah menjadi semacam endemic dalam struktur sosial Arab pada masa itu, maka Alquran secara bijaksana menerima status quo tersebut dengan disertai langkahlangkah perbaikan melalui sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan dengan itu Alquran juga mengemukakan rancangan moral di mana masyarakat secara gradual dianjurkan menuju ke arah tersebut, yaitu "monogamy".
Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang bahwa maksud yang hendak dituju oleh Alquran yang sebenarnya adalah menegakkan "monogami", akan menyelamatkan ayat 3 dan ayat 129 surat Al-Nisâ dari pengertian yang kontradiktif. Masalah poligami berkaitan erat dengan konteks keadilan sosial terhadap wanita.[23]
Namun perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu:[24]
1           .      Para penafsir adalah manusia
2           .      Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi
3            .      Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri



[1] Ibid, hlm. 36.
[2] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al- Qur’an Kaum Liberal,(Jakarta: Perspektif, 2010), hlm. 52
[3] M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera hati, 2012), .hlm., 401.
[4] Syafa’atun Almirzanah, Sahiron Syamduddin. Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku 1 Tradisi Islam. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 68
[5] Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur’ᾱn Fazlur Rahman. (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007), hlm. 11
[6] Fatmawati, Hanik (2013) Penafsiran Amina Wadud Muhsin tentang bidadari dalam Al-Qur’ān (kajian hermeneutika). Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo, hal. 35
[7] Yaitu bahwa hermeneutika merupakan seni bagi mereka yang mengatakan bahwa seseorang harus tunduk kepada sesuatu yang harus dihormati, atau seseorang yang harus mengakuinya dengan penuh kagum karena seni ini dapat memahami dan menjelaskan percakapan yang tersembunyi dalam suatu bahasa asing atau bahkan keyakinan yang tak dapat diekspresikan mengenai orang lain.( Syaf’atun al-Mirzanah, Sahiron Syamsuddin,(ed.), Pemikiran Hermeneutika Dalam Tradisi Barat Reader, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 146)
[8] Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur’ᾱn Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 6-7
[9] M. Quraish Shihab, Kidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2013), hlm. 407
[10] Fatmawati, Hanik (2013) Penafsiran Amina Wadud Muhsin tentang bidadari dalam Al-Qur’ān (kajian hermeneutika). Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo, hal. 45-51
[11] Surojiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 53
[12] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qu’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologis-Hermeneutis, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 25
[13] Surojiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 118
[14] Menurut Paul Ricoeur, ada tiga bentuk kepentingan yang di telusuri Habermas, pertama, kepentingan teknis atau kepentingan instrumental yang menguasai ilmu pengetahuan empiris-analitis, kedua, teknis dan praksis, yakni ranah komunikasi interubjektif yang menjadi wilayah ilmu pengetahuan historis-hermeneutik, ketiga, kepentingan emansipasi, yang menjadi wilayah garapan ilmu sosial kritis, Paul Ricouer, Jalaluddin Rakhmat, Hermeneutika Sosial, Terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana, Yogyakarta : 2006. Hal. 108-111
[15] Ibid, hlm. 8
[16] Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan, (Bandung: RQiS,  2003), hlm., 36.
[17] Ibid., Syafa’atun Almirzanah, Sahiron Syamduddin. Upaya Integrasi..., hlm. 9
[18] Ibid., hlm. 10
[19] Dalam makalah oleh Kurdi dengan judul Hermeneutika Al-Qur’an Abu Hamid Al-Ghazali. dalam Sahiron Syamsudin. Hermeneutika Al-Qur’an...., hlm. 5
[20] Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme Fazurrahman. (Bandung: Mizan, 1990)
[21] Ibid. Sahiron Syamsudin. Hermeneutika ..., hlm. 71
[22] Faiz, Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. (Yogyakarta: Qalam, 2002) hal. 45
[23] Nugroho, Muh Aji. Hermeneutika Fazlur Rahman: Double Movement Theory. Dalam http://goo.gl/TBXQf2 diakses tanggal 21 Januari 2016
[24] Faiz, Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. (Yogyakarta: Qalam, 2002) hal. 48-49
BAB III
PENUTUP

Heremeneutik merupakan cara seseorang dalam mentafsirkan. Kajian tafsir al-Qur’an menggunakan pendekatan hermeneutika dapat dilakukan dengan metode produksi, yaitu mentafsirkan al-Qur’an dari konteks pembacanya. Penggunaan hermeneutika dikalangan umat islam ternyata bukanlah hal yang baru. Para sufi ternyata telah menggunakan hermenutik dalam tafsir al-Qur’an yang mereka lakukan.
Sebagai contoh Fazlurrahman yang menafsirkan al-Quran melalui teori double movement. Namun perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu para penafsir adalah manusia, penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi, dan idak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qu’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologis-Hermeneutis, Yogyakarta: Lkis, 2009
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al- Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif, 2010
Faiz, Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002
Fatmawati, Hanik (2013) Penafsiran Amina Wadud Muhsin tentang bidadari dalam Al-Qur’ān (kajian hermeneutika). Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo, dalam http://eprints.walisongo.ac.id/1545/ diakses tanggal 21 Januari 2016
Jalaluddin Rakhmat. Hermeneutika Sosial. Terj. Muhammad Syukri. Kreasi Wacana, Yogyakarta : 2006.
M. Quraish Shihab, Kidah Tafsir, Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, 2013
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera hati, 2012
Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutik dan Kekuasaan, Bandung: RQiS, 2003.
Nugroho, Muh Aji. Hermeneutika Fazlur Rahman: Double Movement Theory. Dalam http://goo.gl/TBXQf2 diakses tanggal 21 Januari 2016
Sahiron Syamduddin. Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi Buku 1 Tradisi Islam. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2012
Sahiron Syamsudin. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010
Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur’n Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Surojiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme Fazurrahman. Bandung: Mizan, 1990

No comments:

Post a Comment