Sedikit kata

Semua Akan Indah Pada Waktunya

--9 Agustus 2019--

25 January, 2016

SYARIAT MENJAGA PANDANGAN: KAJIAN TERHADAP FENOMENA MEMANDANG KE DALAM RUMAH ORANG LAIN: REVISI

Makalah yang berjudul "SYARIAT MENJAGA PANDANGAN KAJIAN TERHADAP FENOMENA MEMANDANG KE DALAM RUMAH ORANG LAIN" telah menjalani proses revisi. makalah ini dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester gasal tahun pelajaran 2015/2016. 
Semoga bermanfaat. 

SYARIAT MENJAGA PANDANGAN:
KAJIAN TERHADAP FENOMENA MEMANDANG
KE DALAM RUMAH ORANG LAIN


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Studi al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu: Dr. Saifuddin Zuhri Qudsi, MA.

  














Disusun Oleh :
                                             Nama           : Suryanto
                                             NIM             : 1520011047




KONSENTRASI  ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES (IIS)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016

SYARIAT MENJAGA PANDANGAN:
KAJIAN TERHADAP FENOMENA MEMANDANG
KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Oleh : Suryanto
Suryanto.uya.dhuha@gmail.com

Abstrak

Memandang kedalam rumah orang lain ketika bertamu ataupun hanya iseng merupakan sesuatu yang dilarang oleh nabi saw. Bahklan beliau membolehkan untuk mencolok orang yang mengintip tersebut. Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori nomor 5799.
Kajian dalam makalah ini menggunakan kajian sanad perawinya dan kajian matan secara kontekstual. Untuk penelitian sanad, penulis menggunakan software Gwami’ El Kalem Versi 4.5.
Hadis riwayat Imam Bukhari nomor 5799 merupakan hadis yang shahih sehingga dapat digunakan sebagai pedoman (hujah). Bahkan juga didukung dengan hadits-hadits lain yang serupa. Hadits tersebut menekankan seseorang untuk menjaga pandangannya. Namun bagi si empunya rumah juga perlu berhati-hati agar privasi tetap terjaga. Untuk kegiatan maupun barang-barang yang bersifat privasi sebaiknya tidak berada di ruang tamu.
Kata kunci: Memandang ke dalam rumah, Menjaga pandangan, HR. Bukhori 5799, Hadist Shahih, Privasi

A.    Latar Belakang
Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.
Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu mengenai adab dalam bertamu. Sering kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya atau sekedar iseng.
Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.
Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?
Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab mengintip kedalam rumah seseorang. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini.

B.     Masalah
Dalam artikel ini akan menerangkan mengenai bagaimanakah hadist memandang mengenai hukum mengintip rumah orang lain?

C.    Pembahasan
Memandang kedalam rumah seseorang memang dilarang oleh nabi Muhammad saw. sesuai dengan hadist riwayat Imam Bukhori nomor 5799 berikut.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ الزُّهْرِيُّ: حَفِظْتُهُ كَمَا أَنَّكَ هَا هُنَا، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: اطَّلَعَ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِي حُجَرِ النَّبِيِّ  وَمَعَ النَّبِيِّ  مِدْرًى يَحُكُّ بِهِ رَأْسَهُ، فَقَالَ: " لَوْ أَعْلَمُ أَنَّكَ تَنْظُرُ، لَطَعَنْتُ بِهِ فِي عَيْنِكَ، إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ "
Terjemahan[1]
Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdullah] telah menceritakan kepada kami [Sufyan], [Az Zuhri] berkata; "Aku telah menghafalnya sebagaimana dirimu di sini, dari [Sahl bin Sa'd] dia berkata; "Seorang laki-laki pernah melongokkan kepalanya ke salah satu kamar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, waktu itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tengah membawa sisir untuk menyisir rambutnya, lalu beliau bersabda: "Sekiranya aku tahu kamu mengintip, sungguh aku akan mencolok kedua matamu, sesungguhnya meminta izin itu di berlakukan karena pandangan."

Dari hadist tersebut jelas bahwa hukum mengintip kedalam rumah tidak boleh dilakukan. Bahkan nabi sampai akan menusuk mata orang yang mengintip tersebut. Hadist ini juga memerintahkan untuk menjaga pandangan. Salah satu cara nya adalah dengan memberi salam ketika akan bertamu.

D.    Kajian Sanad Hadis
Kriteria kesahihan Hadits
Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanadnya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak.
Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if. Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya. Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadits, terjadi perbedaaan pendapat di kalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria kesahihan hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang dikemukakan oleh Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits, yaitu:
1.      Sanadnya bersambung
Kata ittishal berarti bersambung atau berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan demikian menurut al-Suyuti, hadits munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallas dan mursal tidak termasuk kategori hadits shahih karena sanad-nya tidak bersambung. Menurut Ibnu al-Shalah, hadits muttasil meliputi hadits marfu dan hadits mauquf. Sedangkan hadits musnad adalah hadits yang khusus disandarkan kepada rasulullaah Saw. Dengan demikian, ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti marfu' dan bersambung sanad-nya, sedangkan hadits muttashil tidak mesti bersambung sanad-nya.
Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif , sehingga hadis yang bersangkutan tidak shahih.[2]
2.      Rawinya 'adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta dan lain-lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.[3]
Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak mencakup hadis maudhu dan hadis-hadis dhaif yang disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak muru’ahnya dan sebagainya.
Secara bahasa kata 'adl berasal dari 'adala ya'dilu, 'adalat, yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima. Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.
3.      Rawinya bersifat dhabit.
Dhabit artinya cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi dhabit adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima. Dari sudat kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua dhabth al-kitab.
Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan dhabth al-kitab adalah terpeliharanya pe-riwayat-an itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya.
Yang dimaksud dhabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik , baik hapalannya kuat maupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannnya.[4]
4.      Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
Mengenai hadits yang syadz, al-Syafi'i dan ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadits dipandang syadz jika ia diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat namun bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqat yang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya.
Sebenarnya kerancuan hadis itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para muhadditsin menganggap bahwa kedhabitan telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadis yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu hadisnya, tanpa harus kehilangan predikat kedhabitannya sehubungan dengan hadis-hadisnya yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahian hadis yang dicurigai saja.[5]
5.      Tidak terdapat cacat ('illat)
Menurut Ibn Shalah, 'illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. Hadits yang mengandung unsure 'illat tersebut disebut dengan hadits mu'allal dan ma'lul.  Dikatakan tidak ada cacat jika hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat-cacat keshahihannya. Yakni hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnyacacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan adanya cacat-cacat tersebut. dan hadis yang mengandung cacat itu bukan hadis shahih.
Sebagian ulama yang menyebutkan 'illat dan syadz ada pada sanad.[6]
           
Sanad Hadits
Dalam Makalah ini, kajian sanad menggunakan software Gwami’ El Kalem Versi 4.5.
Hadist di atas memiliki skema jalur sanad sebagai berikut.


Tabel periwayatan dari Imam Bukhari:
No
Nama Periwayat
Urutan Sebagai Periwayat
Urutan Sebagai Sanad
1
Sahl Bin Sa’d
Periwayat 1
Sanad IV
2
Az Zuhri
Periwayat II
Sanad III
3
Sufyan
Periwayat III
Sanad II
4
Ali Bin Abdullah
Periwayat IV
Sanad I
5
Imam Bukhari
Periwayat V
Mukharrij Hadits
Keterangan para perawinya adalah sebagai berikut.
1.      Ali Bin Abdullah
Nama                                    : Ali bin 'Abdullah bin Ja'far bin Najih
(علي بن عبد الله بن جعفر بن نجيح)
Kalangan                  : Tabi'ul Atba' kalangan tua
Nasab                                    : Al Bashriy
Kuniyah                                : Abu Al Hasan
Negeri Hidup            : Bashrah
Negeri Wafat            : Rashafatu Hisyam
Tahun Lahir             : 161 H
Tahun Wafat            : 234 H
Gurunya                   : 187 Orang
Muridnya                  : 162 Orang
Komentar Ulama : Ada 18 Komentar Ulama
Abu Ja’far Al ‘akil
: Insyaallah berbicara lurus
An Nasa'i
: tsiqah ma'mun imam
Ibnu Hajar
: tsiqah tsabat imam
2.      Sufyan
Nama                                    : Sufyan bin 'Uyainah bin Abi 'Imran Maimun
  (سفيان بن عيينة بن ميمون)
Kalangan                  : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Nasab                                    : Al Hilaliy
Kuniyah                                : Abu Muhammad
Negeri Hidup            : Kufah
Negeri Wafat            : Marur Rawdz
Tahun Lahir             : 107 H
Tahun Wafat            : 198 H
Gurunya                   : 505 Orang
Muridnya                  : 822 Orang
Komentar Ulama: Ada 28 Komentar Ulama
Ibnu Hibban
: Hafidz mutqin
Al 'Ajli
: Tsiqah tsabat dalam hadits
Adz Dzahabi
: Ahadul A'lam
Adz Dzahabi
: Tsiqah Tsabat
Adz Dzahabi
: Hafidz imam

3.      Az Zuhri
Nama                        : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab
                                   (محمد بن مسلم بن عبيد الله بن عبد الله بن شهاب بن عبد الله بن الحارث بن زهرة بن كلاب)
Kalangan      : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Nasab                        : Al Qurasyiy Az Zuhriy
Kuniyah                    : Abu Bakar
Negeri Hidup            : Madinah
Negeri Wafat            : -
Tahun Lahir             : 52
Tahun Wafat            : 124
Gurunya                   : 501 Orang
Muridnya                  : 662 Orang
Komentar Ulama : Ada 24 Komentar ulama
Ibnu Hajar al 'Asqalani
: faqih hafidz mutqin
Adz Dzahabi
: seorang tokoh

4.      Sahal bin Sa’d
Nama                                    : Sahal bin Sa'ad bin Malik
(سهل بن سعد بن مالك بن خالد بن ثعلبة بن حارثة بن عمرو بن الخزرج بن ساعدة بن كعب بن الخزرج)
Kalangan                  : Shahabat
Nasab                                    : As Sa'adiy Al Anshariy
Kuniyah                                : Abu Al 'Abbas
Negeri Hidup            : Madinah
Negeri Wafat            : Madinah
Tahun Lahir             : -
Tahun Wafat            : 88
Gurunya                   : 15 Orang
Muridnya                  : 53 Orang
Komentar Ulama: ada 5 Komentar Ulama
Ibnu Hajar al 'Asqalani
: Shahabat


 E.     Status Hadis
Hadits tersebut di atas memiliki status hadits seperti dalam grafik berikut

Gambar: Olahan Gwami’ Elkalem
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa 41,6% mengatakan shohih dan 34,7% mengatakan hasan. Hadits tersebut di atas dapat digunakan sebagai pegangan (hujah).

F.     Kritik Matan Hadis
Kata kritik dalam bahasa Arab lazim diterjemahkan dengan “Al-Naqd”[7]. Kata kritik sebenarnya bahasa serapan yang berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding, menimbang.[8] Naqd dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan.[9] Salinan arti naqd dengan pembedaan, kiranya bertemu sesuai dengan judul karya Imam Muslim, Ibn Hajaj (w. 261 H) yang membahas kritik hadits, yakni kitab al-Tamyiz. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indoneesia, kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.[10]. Kata Sedangkan dalam Lisanul Arabi bermakna tamyiz (membedakan).[11]
Dari tebaran arti kebahasaan tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).
Sedangkan menurut istilah kritik hadits bermakna sebagai berikut:
Menurut Ibnu Abi Hatim al-Razi (w.327 H) sebagaimana dikutip oleh M.M. al-A’Zhami adalah:
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة و الحكم على الرواة توثيقا وتجريحا
“Upaya menyeleksi (,membedakan) antara hadits shahih dan dha’if dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat”.[12]

Sedang sebagai sebuah disiplin ilmu kritik hadits adalah:[13]
الحكم على الرواة تجريحا وتعديلا بألفاظ خاصة ذات دلائل معلومه عند أهله و النظرمتون الاحاديث التى صح سنده لتصحيحها او تضعيفها ولرفع الأشكال عما بدا مشكلا من صحيحها ودفع التعارض بينها يتطبيق مقاييس دقيقه
“Penetapan status cacat atau ‘adil pada peawi hadits dengan mempergiunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya dan mencermati matan-matan hadits sepanjang shahis sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikjasikan tolak ukur yang detail”.
 Menurut Dr.Umi Sumbulah M.Ag, istilah kritik matan hadts,dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadits, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadits yang shahih dan yang tidak shahih.[14]
Bercermin pada perumusan kritik hadits pendefinisi di atas, maka hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah saw, karena otoritas nubuwah dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (baca: ma’shum), tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya. Teks redaksi matan hadits tentu membawa serta perawi selaku perekam fakta kesejarahan masa lampau terposisikan sebagai sumber primer. Sedang kaitan yang mendokumentasikan fakta kehaditsan berbentuk kutub al-hadits merupakan sumber sekunder. Demikian ini bila ditinjau dari tradisi kritik sejarah.
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain. Sangat mungkin terjadi, perawi tidak hadir pada saat fakta kehadisan berlangsung. Seperti penuturana Abu Hurairah (w. 56 H) bahwa Rasulullah saw bersabda:  ولد الزنا الثلاثة.[15]
Persepsi yang segera terlintas  adalah anak yang lahir dari hubungan perzinahan harus memikul dosa pada giliran ketiga sesudah pasangan zina wanita yang melahirkannya. Sekira Abu Hurairah mengikuti alur pembicaraan Rasulullah saw sejak awal, tentu komposisi matan haditsnya terbentuk utuh, yaitu orang munafik, sang provokator itu, ternyata pribadi yang terlahir tanpa bapak, sebab hubungan zina telah menandai wanita lajang yang melahirkannya.[16]
1.      Rumah Nabi
Rumah Nabi SAW di madinah terletak di pojokan masjid nabawi, tepatnya di tempat yang sekarang dijadikan makam Nabi SAW. dan sebagai pengetahuan saja, bahwasanya semua nabi itu dikuburkan tepat dimana nabi itu meninggal dunia, termasuk Nabi Muhammad SAW.
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim: Bahwa suatu hari sayyidina Umar bin Al Khattab pernah menemui baginda Nabi Muhammad SAW. saat itu beliau sedang berbaring di atas tikar kasar yang terbuat dari pelepah kurma. dengan berbantalkan kulit kasar yang berisi serabut ijuk kurma. melihat keadaan Nabi Muhammad yang seperti itu sayyidina Umar pun menangis. Kemudian Nabi pun bertanya: Mengapa engkau menangis?
Sayyidina Umar Radhiallah anhu menjawab: "Bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini membekas pada tubuhmu. Engkau adalah Rasulullah SAW, Utusan Allah SWT. kekayaanmu hanya seperti ini. sedangkan kisra dan rajaraja lainnya hidup bergelimangkan kemewahan. Lalu Nabi Muhammad SAW menjawab: apakah engkau tidak rela jika kemewahan itu untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat nanti?
Perlu anda ketahui, Rumah Beliau SAW sangat mungil sekali, jika diukur panjangnya tidak lebih dari 5 meter dan lebarnya hanya 3 meter. tinggi atap sekitar 2.5 meter,
Hal utama yang menjadi patokan dalam menentukan luas rumah nabi adalah perkataan seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang bernama Daud Bin Qais. Dalam kitab shohih adabul mufrod karya Imam Bukhori disebutkan bahwa Daud Bin Qais berkata: "Saya melihat kamar Rasulullah saw atapnya terbuat dari pelepah kurma yang terbalut dengan serabut, saya perkirakan lebar rumah ini, kira kira 6 atau 7 hasta, saya mengukur luas rumah dari dalam 10 hasta, dan saya kira tingginya antara 7 dan 8, saya berdiri dipintu aisyah saya dapati kamar ini menghadap Maghrib (Marocco)". 1 hasta jika diukur pake meter adalah 0.45 m.
Berikut adalah sketsa rumah nabi Muhammad SAW.[17]

Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa rumah nabi hanya terdiri dari satu ruangan tanpa sekat. Hal ini mengakibatkan ketika ada orang yang memandang ke dalam rumah nabi, setiap yang dikerjakan nabi akan kelihatan.
2.      Rumah di Indonesia Masa Kini
Sebelum menuju ke rumah di Indonesia masa kini, perlu juga melihat rumah-rumah adat di Indonesia. Rumah adat di Indonesia dapat mencerminkan bentuk rumah dan struktur rumah dalam kemungkinan untuk orang lain memandang ke dalam rumah.
Tiap Provinsi di Indonesia masing­masing memiliki rumah adatnya sendiri. Berikut adalah kumpulan gambar rumah adat dari masing-masing provinsi dan nama­nama rumah adat. Rumah adat sebetulnya sesuatu yang unik, bagaimana tidak bentuk rumah yang tidak lazim seperti pada bangunan-bangunan saat ini, namun rumah adat ini tidak bisa di jumpai dikota-kota besar tetapi hanya di tempat-tempat khusus saja dan fungsinyapun kalau di kota besar bukan sebagai tempat tinggal. Di pedalaman atau di desa tradisional masih banyak terdapat rumah adat jika kita ingin melihatnya langsung, akan tetapi di Taman Mini Indonesia Indahpun terdapat lengkap contoh Rumah adat kumplit semua ada disana.
Atau untuk lebih mudahnya bisa dilihat di http://goo.gl/0BZnt2. Disana akan diperlihatkan gambar-gambar rumah adat di Indoensia yang secara garis besarnya rumah adat tersebut terlihat mewah dan megah. Rumoh Aceh, Rumah Balai Batak Toba, Rumah Kebaya, dan masih banyak lagi menunjukkan kemewahan dan kemegahan rumah dari masing –masing daerah. Bahan-bahan pembuatan rumah kebanyaka dari kayu yang sangat sulit untuk tamu memandang ke dalam rumah melalui jendela. Kamar pun biasanya terletak ruangan sendiri dari ruang tamu. Hal ini memungkinkan untuk si empunya rumah untuk menutupi privasinya.
Rumah di era modern saat ini, ada yang minimalis, namun ada juga yang besar. Namun perlu digaris bawahi bahwa seminimalnya rumah pada saat ini, dalam satu rumah terdapat 4 ruangan yang terdiri dari ruang tamu, kamar, ruang keluarga, dan kamar mandi. Bahan bangunan pun selain dari kayu juga sebagian besar menggunakan batako atau batu bata. Jendela biasanya terbuat dari kaca. Kaca memungkinkan tamu untuk memandang ke dalam rumah. Hal ini bisa disiasati dengan memberikan gorden di bagian dalam dari jendela tersebut.
Namun dengan adanya sekat di tiap ruangan memungkinkan si empunya rumah untuk menjaga privasinya. Apabila tamu memandang kedalam rumah, pandangan hanya sebatas pada ruang tamu saja. Alangkah baiknya apabila si empunya rumah ketika menaruh benda atau semua hal yang bersifat pribadi dilakukan di ruang lain selain ruang tamu.
3.      Kajian Secara Bahasa
Analisis secara kontekstual untuk konsep kekinian, hadis ini berhubungan etika dan moral. Setiap orang diharuskan untuk menjaga pandangannya. Tidak memandang ke dalam rumah orang ketika bertamu dan di ijinkan masuk. Rumah merupakan tempat privasi seseorang yang dimana orang lain harus bisa menghargai privasi seseorang dengan tidak mengintip ke dalam rumah. Entah itu dengan membuka pintu sedikit atau melalu jendela. Walaupun rumah tersebut adalah rumah saudara sendiri atau tetangga dekat.
Hadits tersebut menekankan pada kita bahwa dilarang untuk memandang ke dalam rumah orang lain, entah itu ketika bertamu ataupun hanya iseng saja. Saking dilarangnya, nabi hingga mengatakan bahwa orang tersebut akan dicolok matanya.
Untuk si penghuni rumah juga harus hati-hati ketika berada di dalam rumah. Usahakan untuk tidak melakukan hal yang bersifat pribadi di ruang tamu. Dengan begitu, ketika ada orang yang memandang ke dalam maka orang tersebut tidak melihat apa yang sedang dilakukan di dalam rumah.

G.    Hadis-Hadis Pendukung
Salah satu hadis lain yang mendukung hadis tersebut adalah hadis riwayat Imam Muslim berikut:

Terjemahan
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya] dan [Muhammad bin Rumh] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dan lafazh ini miliknya [Yahya]; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya; Dan telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id]; Telah menceritakan kepada kami [Laits] dari [Ibnu Syihab] bahwa [Sahl bin Sa'd As Sa'idi]; Telah mengabarkan kepada nya; Seorang laki-laki mengintip ke rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melalui lubang pintu. Ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang menyisir rambut dengan sebuah sisir besi. Tatkala beliau mengetahui ada orang mengintip. Beliau berkata: "Kalau aku tahu engkau mengintip, pasti aku tusuk matamu." Lalu beliau bersabda: 'Sesunggunya disyari'atkannya izin (memberi salam) agar menjaga penglihatan.'

Hadits Imam Bukhari Nomor 5773[18]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ بَعْضِ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِشْقَصٍ أَوْ بِمَشَاقِصَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَخْتِلُ الرَّجُلَ لِيَطْعُنَهُ
Terjemahan
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari ['Ubaidullah bin Abu Bakr] dari [Anas bin Malik] bahwa seorang laki-laki melongokkan kepalanya ke salah satu kamar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri menemuinya dengan membawa sisir, dan seolah-olah aku melihat beliau menakut-nakuti hendak mencolok laki-laki itu."


Hadits Imam Bukhari Nomor 5774[19]
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمْ أَرَ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ح حَدَّثَنِي مَحْمُودٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
Terjemahan
Telah menceritakan kepada kami [Al Humaidi] telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Ibnu Thawus] dari [Ayahnya] dari [Ibnu Abbas] radliallahu 'anhuma dia berkata; "Saya tidak berpendapat dengan sesuatu yang menyerupai makna lamam (dosa kecil) selain perkataan [Abu Hurairah]. Dan di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku [Mahmud] telah mengabarkan kepada kami [Abdurrazaq] telah mengabarkan kepada kami [Ma'mar] dari [Ibnu Thawus] dari [Ayahnya] dari [Ibnu Abbas] dia berkata; "Saya tidak berpendapat tentang sesuatu yang paling dekat dengan makna Al lamam (dosa-dosa kecil) selain dari apa yang telah dikatakan oleh [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari, maka zinanya mata adalah melihat sedangkan zinanya lisan adalah ucapan, zinanya nafsu keinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah sebagai pembenar semuanya atau tidak."

Hadits Imam Abu Daud Nomor 1840[20]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ عَنْ مَعْمَرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ وَيُكَذِّبُهُ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكُلِّ ابْنِ آدَمَ حَظُّهُ مِنْ الزِّنَا بِهَذِهِ الْقِصَّةِ قَالَ وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي فَزِنَاهُ الْقُبَلُ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ قَالَ وَالْأُذُنُ زِنَاهَا الِاسْتِمَاعُ
Terjemahan
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin 'Ubaid], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Tsaur] dari [Ma'mar], telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Thawus] dari [ayahnya] dari [Ibnu Abbas], ia berkata; aku tidak melihat sesuatu yang lebih mirip dengan dosa-dosa kecil daripada apa yang dikatakan [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian zina anak keturunan Adam yang pasti ia jumpai, zina kedua mata adalah melihat, zina lidah adalah mengucap, zina hati adalah berangan dan bernafsu, dan kemaluan akan membenarkan hal tersebut atau mendustakannya." Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma'il], telah menceritakan kepada kami [Hammad] dari [Suhail bin Abu Shalih], dari [ayahnya], dari [Abu Hurairah], bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap anak keturunan Adam memiliki bagiannya dari zina…." Dengan kisah ini, beliau bersabda: "Kedua tangan berzina dan zinanya adalah menyentuh, kedua kaki berzina dan zinanya adalah berjalan, mulut berzina dan zinanya adalah mencium." Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id], Telah menceritakan kepada kami [Al Laits], dari [Ibnu 'Ajlan], dari [Al Qa'qa' bin Hakim] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah], dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan kisah ini. Beliau mengatakan: "Dan zina telinganya adalah mendengar."

H.    Simpulan
Hadis riwayat Imam Bukhari nomor 5799 di atas merupakan hadis yang shahih sehingga dapat digunakan sebagai pedoman (hujah). Nabi melarang seseorang untuk memandang ke dalam rumah seseorang. Entah ketika akan bertamu atau hanya karena iseng. Kita dibolehkan untuk menusuk mata orang yang mengintip tersebut. Inilah bukti bahwa perilaku mengintip ke dalam rumah seseorang sangat dilarang oleh Rosulullah saw. Dalam arti yang lain adalah kita diperintahkan untuk bisa menjaga pandangan.
Namun sebagai si empunya rumah juga perlu lebih berhati-hati. Ruang tamu memang seharusnya tidak digunakan untuk kegiatan yang bersifat pribadi. Untuk rumah pada masa kini sebenarnya sudah agak tertolong dengan adanya sekat tiap ruangan. Berbeda dengan rumah pada zaman nabi saw yang tanpa sekat.

I.   Daftar Pustaka
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1969
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir.
Al-idlibi, Manhaj naqd al-Matn
Ani al-Fadil Jamaluddin M. Ibn Makram Ibn Mandzur, Tahdzibu Lisan al-Arabi
Atar Semi, Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 1987
Berapa Luas Rumah Nabi SAW?. dalam http://goo.gl/VHU2Ol. Diakses 8 Januari 2016
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Hadits Imam Bukhari Nomor 5773. http://goo.gl/kluwd3 diakses tanggal 8 Januari 2016
Hans Wehr, A Dictionsry of Modern Written Arabic London: Geore Allen dan Unwa Ltd,
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits
InfoUnik. Kumpulan Gambar Rumah Adat dan Nama-Nama Rumah Adat. Dalam http://goo.gl/0BZnt2. Diakses tanggal 8 Januari 2016
M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin. Riyadl: al-Ummariyah, 1982
Mutiara Hadis. Haramnya Memandang Ke Dalam Rumah Orang Lain. dalam http://www.mutiarahadits.com/55/66/76/haramnya-memandang-ke-dalam-rumah-orang-lain.htm, diakses tanggal 2 Desember 2015
Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits, terj. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994
Umi sumbulah,Kritik Hadits.



[1] Hadits Imam Bukhari Nomor 5772. http://goo.gl/1Lbe1J. diakses tanggal 2 Desember 2015
[3] Ibid. hlm. 3.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir. hlm. 466
[8] Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 7
[9] Hans Wehr, A Dictionsry of Modern Written Arabic (London: Geore Allen dan Unwa Ltd, 1970), hlm. 990
[10] Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 466
[11] Ani al-Fadil Jamaluddin M. Ibn Makram Ibn Mandzur, Tahdzibu Lisan al-Arabi. Hlm. 641
[12] M. Musthofa al-A’zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda Al-Muhadditsin(Riyadl: al-Ummariyah, 1982), hlm. 5
[13] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits. Hlm. 10.
[14] Umi sumbulah,Kritik Hadits. Hlm. 94
[15] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1969), juz 6, hlm. 109
[16]  Al-idlibi, Manhaj naqd al-Matn, hlm. 111
[18] Hadits Imam Bukhari Nomor 5773. http://goo.gl/kluwd3 diakses tanggal 8 Januari 2016
[19] Hadits Imam Bukhari Nomor 5774. http://goo.gl/jtBbVD  diakses tanggal 8 Januari 2016
[20] Hadits Imam Abu Daud Nomor 1840. http://goo.gl/PsBv4i. diakses tanggal 8 Januari 2016

No comments:

Post a Comment